Monday, March 31, 2014

that red rose

This one is the continuance of my previous poem. I made it after I broke up with *used to be my red rose*. Even, it was only two days after he had a birthday. There was a problem in which I couldn't even tolerate more. This problem made all other problems come and I decided to end my relationship with him. At that time, I was so confused but I had no other choice.  I thought again and again and again, and I came into a conclusion. "Let's break up", I said sadly to him. He said sorry over and over again, but I couldn't accept it. It really hurt me a lot. To be with him for about 2 years had been making me feel hurt like this. I cannot imagine what I will feel if I am with him for more than this. I do love him, but there must be someone who loves him more. My mind is made up. I let him go, trying to be fine without him... and here is another poem I made for him, happy reading..



Mawar merah itu

Dulu, aku pernah dengan bangga memetik sebuah mawar merah diantara ribuan mawar lainnya.
Aku simpan mawar itu dan aku hidupi hingga aku bisa menikmati indahnya.
Dulu, senyumku selalu merekah seperti mawar itu.
Dulu, aku bahagia mencium harum mawar itu.
Rasanya, aku ingin selalu membawa mawar itu kapan pun dan kemana pun aku menempuh perjalanan.

Namun,
Dalam perjalananku, aku sadar mawar itu terlalu indah.
Ada yang menyukai dan ingin mengambil mawar itu dariku.
Dia adalah seorang musafir yang ingin sekali memiliki mawarku.
Aku, terlalu mencintai mawar itu, tak ingin melepaskannya dari genggamanku.
Aku selalu berusaha menyimpan mawarku agar tak dilihat oleh musafir itu.
Tapi, semakin kuat aku menggenggam, semakin mawar itu menunjukkan bahwa ia pun ingin bersama musafir itu.
Mungkin, mawar itu ingin menempuh perjalanan baru dengan musafir itu.
Ya, musafir yang juga merah, tak seperti aku yang putih ini.
Lambat laun aku berpikir.
Mungkin merah memang harus bersama merah, bukan putih.
Tapi aku adalah pecundang tatkala aku selalu menutupi semua rasa sakit untuk melepas mawar itu.
Aku lah satu-satunya orang yang menghibur diriku sendiri untuk merelakan mawarku digenggam musafir itu.

Aku rasa aku sudah puas menikmati merahnya mawar itu.
Aku cukup bangga pernah menggenggam mawar itu.
Aku pernah tersenyum seorang diri kala mencium harum mawar itu.
Tapi, aku pun juga merasakan sakit yang luar biasa ketika tertusuk duri mawar itu.
Sebenarnya dari dulu sudah aku rasakan sakit seperti ini, namun aku berusaha menutupi.
Aku tak ingin membuat mawar itu layu.
Karena, jika mawar itu layu, aku lah orang pertama yang ikut merasakan sedihnya.
Dulu, duri itu masih lembut, sedikit demi sedikit menusuk jemariku yang selalu menggenggamnya.
Aku berusaha menahan sakit itu.
Ya, memang sudah aku rasakan dari dulu dan sudah aku bayangkan jika akan ada musafir itu.
Semakin lama, duri itu semakin tajam, duri yang dari awal sudah aku bayangkan betapa sakitnya jika menusukku.
Jemariku berdarah.
Ya, kali ini darah merah mengalir di sela jemariku.
Jemari ini sudah tak kuasa menahan rasa sakit itu.
Darah itu semakin deras mengucur ketika aku mencoba melepaskan genggamanku.
Bahkan, ketika mawar itu tak lagi di genggamanku, darah itu tak berhenti mengucur.

Mungkin mawarku, maaf mawar yang sudah menjadi milik musafir itu, selama ini tidak menyadari betapa sakitnya aku.
Durinya yang semakin tajam telah melukai jemariku, mungkin mawar itu tak sadar.
Atau mungkin, mawar itu sadar tetapi membiarkannya karena ia tak ingin lebih banyak lagi darah yang mengucur dari jemariku.
Tetapi, ia memilih pergi, tanpa melihat lukaku ini.

Aku merelakan darah mengucur dari jemariku dan mencoba mengikhlaskan pilihan mawar itu.
Mawar itu mungkin akan semakin memerah di tangan dia yang juga merah.
Mungkin ini alasan mengapa mawar itu ingin sekali berada di genggaman dia yang juga merah.
Ya, mawarku ingin semakin memerah.
Denganku yang putih, ia memang tetap merah, tapi tidak bisa semerah dengan dia yang juga merah.

Kini, aku tak tau kabar mawar itu.
Apakah ini pilihannya yang paling tepat?
Apakah ia benar-benar diperlakukan baik oleh musafir itu?
Apakah selama mereka menempuh perjalanan, ia pernah menoleh ke belakang mengingatku?
Apakah ia masih diperbolehkan untuk mengingatku yang dulu pernah merawatnya?
Atau mungkin ia sudah terlalu bahagia dan dengan mudah melupakan aku yang dulu memetiknya?

Tidak ada jawaban yang pasti mengenai pertanyaan-pertanyaan bodohku ini.
Satu hal yang pasti adalah aku harus mengobati luka jemariku ini, luka yang mungkin akan tetap membekas sampai kapan pun.

13-03-2014

No comments:

Post a Comment