Mawar merah
itu
Dulu, aku pernah dengan bangga memetik
sebuah mawar merah diantara ribuan mawar lainnya.
Aku simpan mawar itu dan aku hidupi hingga
aku bisa menikmati indahnya.
Dulu, senyumku selalu merekah seperti
mawar itu.
Dulu, aku bahagia mencium harum mawar itu.
Rasanya, aku ingin selalu membawa mawar
itu kapan pun dan kemana pun aku menempuh perjalanan.
Namun,
Dalam perjalananku, aku sadar mawar itu
terlalu indah.
Ada yang menyukai dan ingin mengambil
mawar itu dariku.
Dia adalah seorang musafir yang ingin
sekali memiliki mawarku.
Aku, terlalu mencintai mawar itu, tak
ingin melepaskannya dari genggamanku.
Aku selalu berusaha menyimpan mawarku agar
tak dilihat oleh musafir itu.
Tapi, semakin kuat aku menggenggam,
semakin mawar itu menunjukkan bahwa ia pun ingin bersama musafir itu.
Mungkin, mawar itu ingin menempuh
perjalanan baru dengan musafir itu.
Ya, musafir yang juga merah, tak seperti
aku yang putih ini.
Lambat laun aku berpikir.
Mungkin merah memang harus bersama merah,
bukan putih.
Tapi aku adalah pecundang tatkala aku
selalu menutupi semua rasa sakit untuk melepas mawar itu.
Aku lah satu-satunya orang yang menghibur
diriku sendiri untuk merelakan mawarku digenggam musafir itu.
Aku rasa aku sudah puas menikmati merahnya
mawar itu.
Aku cukup bangga pernah menggenggam mawar
itu.
Aku pernah tersenyum seorang diri kala
mencium harum mawar itu.
Tapi, aku pun juga merasakan sakit yang luar
biasa ketika tertusuk duri mawar itu.
Sebenarnya dari dulu sudah aku rasakan
sakit seperti ini, namun aku berusaha menutupi.
Aku tak ingin membuat mawar itu layu.
Karena, jika mawar itu layu, aku lah orang
pertama yang ikut merasakan sedihnya.
Dulu, duri itu masih lembut, sedikit demi
sedikit menusuk jemariku yang selalu menggenggamnya.
Aku berusaha menahan sakit itu.
Ya, memang sudah aku rasakan dari dulu dan
sudah aku bayangkan jika akan ada musafir itu.
Semakin lama, duri itu semakin tajam, duri
yang dari awal sudah aku bayangkan betapa sakitnya jika menusukku.
Jemariku berdarah.
Ya, kali ini darah merah mengalir di sela
jemariku.
Jemari ini sudah tak kuasa menahan rasa
sakit itu.
Darah itu semakin deras mengucur ketika
aku mencoba melepaskan genggamanku.
Bahkan, ketika mawar itu tak lagi di
genggamanku, darah itu tak berhenti mengucur.
Mungkin mawarku, maaf mawar yang sudah
menjadi milik musafir itu, selama ini tidak menyadari betapa sakitnya aku.
Durinya yang semakin tajam telah melukai
jemariku, mungkin mawar itu tak sadar.
Atau mungkin, mawar itu sadar tetapi
membiarkannya karena ia tak ingin lebih banyak lagi darah yang mengucur dari
jemariku.
Tetapi, ia memilih pergi, tanpa melihat
lukaku ini.
Aku merelakan darah mengucur dari jemariku
dan mencoba mengikhlaskan pilihan mawar itu.
Mawar itu mungkin akan semakin memerah di
tangan dia yang juga merah.
Mungkin ini alasan mengapa mawar itu ingin
sekali berada di genggaman dia yang juga merah.
Ya, mawarku ingin semakin memerah.
Denganku yang putih, ia memang tetap
merah, tapi tidak bisa semerah dengan dia yang juga merah.
Kini, aku tak tau kabar mawar itu.
Apakah ini pilihannya yang paling tepat?
Apakah ia benar-benar diperlakukan baik
oleh musafir itu?
Apakah selama mereka menempuh perjalanan,
ia pernah menoleh ke belakang mengingatku?
Apakah ia masih diperbolehkan untuk
mengingatku yang dulu pernah merawatnya?
Atau mungkin ia sudah terlalu bahagia dan
dengan mudah melupakan aku yang dulu memetiknya?
Tidak ada jawaban yang pasti mengenai
pertanyaan-pertanyaan bodohku ini.
Satu hal yang pasti adalah aku harus
mengobati luka jemariku ini, luka yang mungkin akan tetap membekas sampai kapan
pun.
13-03-2014